Di tengah riuhnya modernisasi, di pesisir utara Pulau Jawa, berdiri kokoh sebuah saksi bisu kejayaan Islam masa lampau: Masjid Agung Banten Lama. Dibangun pada abad ke-16, masjid ini bukan hanya tempat ibadah, melainkan pusat peradaban, ilmu, dan pemerintahan Kesultanan Banten.(18/6)
Berlokasi di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, masjid ini menjadi ikon sejarah sekaligus magnet spiritual yang tak pernah sepi dari peziarah. Setiap harinya, baik dari dalam maupun luar daerah, orang datang tidak sekadar untuk menunaikan salat, tetapi juga menapak tilas jejak leluhur yang mengukir peradaban Islam Nusantara.
Arsitektur Masjid Agung Banten memukau siapa pun yang menginjakkan kaki ke pelatarannya. Bangunan utama bergaya perpaduan Jawa, Tiongkok, hingga Eropa. Atap limas tumpang lima menggambarkan filosofi kehidupan bertingkat, yang mengarahkan manusia menuju Tuhan. Yang menarik, menara masjid justru menyerupai mercusuar, rancangan seorang arsitek Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel yang kemudian memeluk Islam dan diberi gelar Pangeran Wiraguna.
Tak jauh dari bangunan masjid, berdiri kompleks pemakaman para sultan dan ulama Banten. Makam Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati, menjadi pusat ziarah yang dihormati. Suasana khidmat dan sakral kerap menyelimuti kawasan ini, terutama saat malam Jumat dan bulan Maulid.
Di balik keagungan bangunannya, Masjid Agung Banten menyimpan cerita tentang semangat dakwah dan diplomasi. Masjid ini dahulu menjadi tempat berkumpul para ulama, penasehat kerajaan, hingga duta dari negeri seberang. Di sinilah Banten menyatukan iman dan ilmu, antara mimbar dan medan, antara zikir dan strategi.
Seiring waktu, pemerintah dan masyarakat terus berupaya merawat warisan ini. Melalui revitalisasi kawasan Banten Lama, Masjid Agung kini semakin mudah diakses, ditunjang fasilitas penunjang wisata religi. Namun, tantangan pun tetap ada: menjaga keaslian sambil membukanya bagi dunia.
Masjid Agung Banten Lama bukan hanya bangunan tua, ia adalah ruh dari peradaban Islam yang dahulu menjelma dalam kekuatan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Di sanalah suara azan menggema dari masa lalu, mengingatkan kita pada asal-usul, sekaligus memanggil kita untuk melanjutkan perjuangan.
Sumber: Direktorat Jendral Kebudayaan